Selasa, 29 Juli 2008


MASYARAKAT YAHUDI DI HIJAZ SEBELUM ISLAM
Oleh: Asep Sobari, Lc

Tidak banyak sumber sejarah yang menjelaskan asal-usul keberadaan Yahudi di wilayah Hijaz yang meliputi Mekah, Madinah, Thaif, Khaibar, Fadak, Taima dan sekitarnya. Sumber sejarah yang ada, terbatas pada beberapa catatan sejarawan muslim, yang berarti penulisannya dilakukan setelah kedatangan Islam. Sementara catatan sejarah sebelum Islam, bisa dikatakan sangat langka. Itupun terbatas pada ungkapan para penyair dalam puisi-puisi mereka. Alhasil, permulaan kedatangan masyarakat Yahudi ke Hijaz tidak dapat dipastikan, karena tidak didukung data dan fakta yang memadai.

Namun berbagai indikator menunjukkan, keberadaan masyarakat Yahudi di tanah Hijaz sudah berlangsung sejak lama. Kondisi politik yang tidak di stabil di Palestina sejak penyerangan Babilonia hingga Romawi, mendesak masyarakat Yahudi mencari perlindungan bahkan pemukiman baru di pelbagai daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki hubungan langsung dengan Palestina, seperti Hijaz. Selain faktor politik di Palestina, kesuburan tanah di beberapa wilayah Hijaz, seperti Yatsrib (Madinah), Khaibar, Taima, Wadi al-Qura dan Fadak, mendorong masyarakat Yahudi untuk menjadikannya sebagai alternatif pemukiman baru bagi mereka (Jawad Ali : 3675).

Aspek Sosial Politik

Di pemukiman baru tersebut, masyarakat Yahudi hidup berdampingan dengan pribumi yang telah lebih dulu tinggal di tempat itu. Kondisi ini memaksa mereka melakukan penyesuaian dengan budaya dan tradisi lokal. Meskipun di Madinah, Khaibar dan Wadi al-Qura, mereka berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan tapi mereka tetap tidak dapat menghindari tuntutan-tuntutan pragmatis di tempat baru.

Cara berpakaian dan nama mengikuti tradisi Arab. Samuel bin Yazid, Zubair bin Batha, Sallam bin Misykam, Huyay bin Akhthab, adalah nama-nama tokoh Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir. Komunikasi sehari-haripun menggunakan bahasa Arab, meskipun masih ada pengaruh aksen Ibrani. Bahkan sebagian dari kalangan Yahudi dikenal pandai berpuisi dalam bahasa Arab, diantaranya adalah Ka`b bin Sa`d al-Qurazhi, Sarah al-Qurazhiyah, Rabi` bin Abi al-Huqaiq dan Ka`b bin Asyraf (Jawad Ali: 3738).

Tidak hanya bahasa dan budaya, pernikahan antara etnik Bani Israil dan Arab juga tidak dapat dihindari. Ka`b bin Asyraf adalah contohnya. Menurut salah satu riwayat, ayahnya adalah keturunan Arab Thai’ sedangkan ibunya berdarah asli Bani Israil. Jawad Ali memberi alasan, perkawinan silang antar etnik ini dapat terjadi karena –antara lain—sejumlah orang Arab memeluk agama Yahudi.

Ketika masyarakat Yahudi tiba di Madinah, sejumlah kabilah Arab kecil telah mendiami kota tersebut. Namun demikian, klan-klan besar Yahudi, seperti Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa` berhasil menempati tempat-tempat strategis. Daerah `Awali (Wadi Mudzainib), Wadi Mahzur dan Wadi Buth-han yang merupakan sumber air di Madinah, berhasil dikuasai. Selain tanah, mereka juga menguasai perdagangan. Pasar Bani Qainuqa` menjadi pasar paling ramai dan lengkap, sekaligus jantung perekonomian Madinah.

Sejak kedatangan Aus dan Khazraj, dua klan Arab berasal dari Azd (Yaman), dominasi Yahudi di Madinah mulai pudar. Aus dan Khazraj berhasil menggeser posisi Yahudi meskipun tidak dapat menguasai daerah-daerah subur yang menjadi pemukiman dan kebun mereka.

Kehadiran Aus dan Khazraj yang mengancam hegemoni dan stabilitas masyarakat Yahudi tidak disikapi secara konfrontatif. Masyarakat Yahudi lebih mengutamakan perlindungan internal dengan membangun bangunan-bangunan kokoh di daerah pemukimannya dalam bentuk benteng, atham (semi benteng) dan ratij (rumah berdinding tanah liat). As-Samhudi –dalam kitab Wafa’ al-Wafa—menyatakan terdapat lebih dari 59 atham dan ratij milik Yahudi di Madinah.

Di dalam batas lingkungan eksklusif itulah, masyarakat Yahudi melakukan segala aktivitas yang terkait antara sesama meraka, sehingga kondisinya mirip dengan komunitas Ghetto yang identik dengan budaya masyarakat Yahudi di seluruh penjuru dunia semasa diaspora.

Dalam berhubungan dengan komunitas lain di Madinah, masyarakat Yahudi tampaknya lebih bersikap pragmatis. Perpecahan di kalangan internal Yahudi mendorong mereka untuk membangun aliansi dengan masyarakat Arab guna memperkuat posisinya. Bani Qainuqa` beraliansi dengan Khazraj, sedangkan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah beraliansi dengan Aus (al-Syarif: 267).

Perpecahan internal Yahudi bukan semata-mata strategi jitu mereka untuk memecah belah kekuatan Aus dan Khazraj yang menjadi rival mereka. Sekalipun secara tidak langsung, tujuan tersebut tercapai. Pada kenyataannya, klan-klan Yahudi itu memang pecah, terutama setelah menapaki puncak kekuasaan di Madinah. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah memandang status mereka lebih terhormat daripada Bani Qainuqa`. Kedua klan Yahudi tersebut berasal dari garis keturunan al-Kahin (Cohen), keturunan Nabi Harun as yang dikenal relijius dan sangat terhormat (Ibn Hisyam: 2/202).

Aspek Ekonomi

Sejak sebelum kedatangan Aus dan Khazraj hingga masa Islam. Yahudi Madinah tetap menguasai perekonomian kota tersebut. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah menguasai tanah-tanah tersubur, sedangkan Bani Qainuqa` mengusai pasar terbesar. Kemahiran masyarakat Yahudi dalam bercocok tanam yang diwarisi dari Palestina juga mereka terapkan. Begitu juga kelihaian membuat perhiasan, pakaian, baju perang, senjata, alat-alat pertanian dan profesi lainnya semakin mengokohkan dominasi mereka atas perekonomian Madinah.

Perdagangan valuta dan praktik riba juga dikenal luas di Madinah. Dalam hal ini, tokoh-tokoh Yahudi dan Arab memainkan peran yang sama. Bunga riba yang dibebankan kepada peminjam kadang-kadang lebih besar dari jumlah utang, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan memicu banyak konflik (al-Syarif: 301-302).

Hubungan dagang para saudagar Yahudi Madinah dan Khaibar terjalin dengan baik. Letak Madinah sebagai transit kafilah-kafilah dagang Quraisy yang bertolak menuju pasar-pasar besar di Gaza dan Syam tentu dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang domestik Madinah. Begitu juga Khaibar yang terletak di persimpangan jalan dagang kafilah-kafilah Ghathafan dan beberapa kabilah Najed lainnya.

Aspek Pendidikan dan Keagamaan

Lingkungan eksklusif masyarakat Yahudi di Madinah menjadi tempat ideal untuk mengembangkan pendidikan dan tradisi keagamaan. Lembaga pendidikan Yahudi di Madinah dikenal dengan nama Bait al-Midras yang berasal dari bahasa Ibrani, Midrash, yang berarti kajian dan penjelasan teks-teks kegamaan. Tampaknya, Midras juga berfungsi sebagai tempat ibadah dan pertemuan penting untuk membahas masalah-masalah agama (Jawad Ali: 4876).

Meskipun orang-orang Yahudi tidak tertarik menyebarkan agama, tapi bukan berarti tidak ada orang Arab yang memeluk Yahudi. Kondisi sosial yang majemuk, kebutuhan pragmatis yang berkaitan dengan ekonomi dan keamanan, serta faktor-faktor lainnya, membuat orang-orang Yahudi berkepentingan dengan adanya orang-orang Arab yang memeluk agama mereka. Namun perlu dicatat, pilihan memeluk agama Yahudi ini dilakukan oleh individu-individu dan tidak ada fakta yang menyebutkan perpindahan agama secara masif yang dilakukan oleh satu kabilah Arab secara bersama-sama (al-Syarif: 248).

***

Senin, 28 Juli 2008

MENULIS ULANG SEJARAH ISLAM*


Persoalan Materi, Metodologi, dan Interpretasi.

Asep Sobari, Lc

Penulisan sejarah ditentukan oleh tiga faktor penting yang sangat menentukan bobot kajian sejarah, yaitu materi, metodologi dan interpretasi, karena ketiganya tidak hanya menjamin otentisitas dan obyektivitas penulisan sejarah, tapi juga dapat menampilkan sejarah sebagai unsur dinamis dalam kehidupan nyata.

Pelopor penulisan sejarah Islam dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
1) Muhaddits (ahli hadits)
Dari segi metodologi, kelompok Muhaddits memiliki kelebihan karena terseleksi dengan baik, karena adanya penerapan metode hadits dalam riwayat-riwayat sejarah yang mereka catat. Tetapi kelemahan metode ini, adalah terbatasnya jumlah riwayat sejarah dan tidak menampilkan peristiwa secara utuh.

2) Akhbari
Kelompok akhbari lebih menonjolkan pengayaan riwayat dalam setiap peristiwa sejarah yang ditulis sehingga dapat menggambarkannya dengan utuh. Selain tidak menerapakan kritik terhadap riwayat sejarah yang dihimpunnya, kecendrungan-kecendrungan subjektif sejarawan akhbari –yang semuanya lahir setelah masa fitnah (kekacauan politik) dan kemunculan aliran-aliran ideologis-, seperti tendensi ideologi, politik dan fanatisme, berdampak besar terhadap bobot riwayat-riwayatnya.

Berbeda dengan sejarawan ahli hadis, para ahli kritik riwayat hadits menyimpulkan kebanyakan sejarawan akhbari tidak cukup kuat. Bahkan, tidak sedikit yang memiliki tendensi subjektif serius yang berdampak pada lemahnya riwayat yang mereka sampaikan. Persoalan ini menjadi semakin rumit, ketika kita dapati, ahli sejarah sekaliber Ibn Jarir Al-Thabari (310H) yang melahirkan karya monumental, Tarikh Al-Rusul wa al-Muluk, tidak memiliki pilihan lain selain mengutip riwayat-riwayat akhbari dan menjadikannya sebagai referensi penting dalam beberapa bagian bukunya.
Namun demikian At-Thabari mampu membingkainya dalam sebuah kerangka metodologi penulisan yang tegas dan cerdas, yakni mencantumkan semua sanad (para perawi) riwayat akhbari. Sehingga ia membuka jalan bagi setiap pembaca bukunya untuk menakar riwayat-riwayat sejarah akhbari yang tendensius dan tidak logis dengan metode kritik riwayat yang tentu sangat familier pada masanya- sekaligus menolak dirinya dicatut sebagai sumber riwayat tersebut.

Dalam memperlakukan buku-buku sejarah klasik, hendaknya tidak menjadikan sebagai rujukan final dan dianggap sebagai kerangka sejarah sejarah Islam yang telah eksis. Melainkan seperti yang dinyatakan Muhibbuddin al-Khatib,” sebagai materi yang sangat kaya untuk dikaji dan diteliti sampai berhasil membangun kerangka sejarah kita darinya.

Sejarah jangan diperlakukan lagi sebagai kumpulan fakta dan data dan tidak menjadi tumpukan dokumentasi masa lalu. Tetapi kita harus mampu menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga dalam bentuk rangkaian aturan-aturan Allah (sunnatullah) yang sangat efektif membantu menemukan jalan menuju kemajuan beradaban dan menghindari kesalahan-kesalahan generasi masa lalu. Pelajaran selalu terkandung dalam setiap pelajaran sejarah, tapi Al Qur’an memberi syarat yang sangat ketat agar pelajaran itu dapat dikuasai dan berfungsi semestinya.

Penulisan buku referensi sejarah dan peradaban Islam di sekolah-sekolah, terutama yang menjadi panduan pada universitas negeri Islam di Indonesia, ternyata memiliki banyak permasalahan.Dalam pemaparannya, narasumber mengungkapkan beberapa permasalahan seperti pada perang Jamal di katakan bahwa Aisyah ditangkap dan ditawan oleh Ali. Padahal jika Aisyah benar-benar menjadi tawanan perang, maka statusnya menjadi budak, dan itu tidak mungkin terjadi. Ali pada saat itu juga melarang untuk mengambil harta rampasan pada saat perang Jamal. Salah satu permasalahan lainnya dalam buku-buku itu adalah penggambaran khalifah Utsman yang dianggap Nepotisme dan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tidak tegas. Hal itu merupakan masalah tersendiri yang perlu diluruskan dengan menulis ulang sejarah Islam. Belum lagi upaya-upaya untuk mencitrakan bahwa sejarah dan peradaban Islam penuh dengan darah.

Upaya pelurusan sejarah dan penulisan ulang sejarah Islam ini merupakan tantangan tersendiri, tetapi bukan mustahil. Muhibbuddin al-Khatib menjamin upaya ini sangat mungkin ditempuh dan mudah, asalkan asbabnya terpenuh, yakni memiliki kemampuan yang mmemadai untuk menilai kuat dan lemahnya sumber-sumber sejarah, dan kecerdasan yang mumpuni yang menyimpulkan fakta kejadian sebenarnya, sehingga dapat mengabil sumber berita yang bendar dan memisahkannya dari tambahan-tambahan fiktif. Dan tentunya interpretasi terhadap sejarah tersebut harus dilakukan oleh orang-orang yang takut. Yaitu takut yang tumbuh dari keyakinan dan pengetahuan mendalam terhadap sunnah-sunnah Allah, seperti ulama, atau Uli al-abshar dan Uli al-Albab, yaitu orang-orang yang mampu menggabungkan kekuatan takwa dengan kecerdasan Intelektual.

Sudah seharusnya umat bangga dengan kegemilangan sejarahnya yang terlalu sulit dicari tandingan dalam sejarah umat mana pun, lalu menjadikannya inspirasi yang sangat berharga guna tampil kembali di pentas peradaban dunia dengan membawa nilai-nilai luhur risalah yang tidak banyak disadari oleh manusia masa kin, bahwa disanalah solusi yang selama ini mereka dambakan untuk mengatasi krisis kemanusian yang kian rumit dan kompleks.