Rabu, 15 Oktober 2008


MEMUJA FOUDA, MENFITNAH SAHABAT

Belum lama ini, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan penerbit Dian Rakyat menerbitkan edisi Indonesia sebuah buku berjudul “Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin” , karya Farag Fouda (Judul aslinya: al-Haqiqah al-Ghaybah). Selanjutnya judul buku ini disingkat KYH.
Dari judulnya, bisa ditebak, buku ini mengangkat apa yang oleh penulisnya disebut sebagai sisi kelam dari sejarah Islam. Jika kaum Muslim menyebut zaman Khulafaurrasyidin sebagai masa yang ideal, maka Fouda meggambarkan sebaliknya. Menurut Fouda, zaman itu bukanlah masa ideal, tapi “zaman biasa”. “Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak memalukan.” (hal.xv).
Mungkin karena itulah, kaum liberal di Indonesia sangat bergairah dengan terbitnya buku ini. Pada sampul depan ditulis pujian Prof. Dr. Azyumardi Azra yang dikenalkan sebagai Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah. Terhadap buku ini, Prof. Azra berkomentar:
“Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.
Pada sampul belakang, dimuat komentar Prof. Dr. Syafi`i Maarif yang dikenalkan sebagai Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY). Lebih bergairah dari Profesor Azra, Profesor Syafi’i Maarif terkesan begitu terpesona oleh karya Faouda ini, sehingga dia berkomentar:
”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif”.
Benarkah buku Fouda ini memang obyektif dan komprehensif, sebagaimana pujian para profesor sejarah di Indonesia itu? Untuk membuktikannya, silakan simak fakta-fakta berikut ini:
Farag Fouda adalah seorang doktor Ekonomi Pertanian di Mesir. Dia dikenal sebagai juru bicara yang sangat vokal dari kaum liberal di Mesir. Hidupnya berakhir tragis. Dia ditembak mati pada 8 Juni 1992. Pada 3 Juni 1992, sejumlah ulama al-Azhar membuat pernyataan, bahwa Fouda telah murtad dari agama Islam, karena pendapat-pendapatnya dinilai menghujat Islam. Dalam pengantar buku edisi Indonesia ini, Samsu Rizal Panggabean mencatat, bahwa Ma’mun al-Hudaibi, pemimpin Ikhwanul Muslimin, membenarkan pembunuhan tersebut. Saat menjadi saksi di pengadilan, Syekh Muhammad al-Ghazali mengatakan, seorang muslim yang telah murtad atau keluar dari agama Islam dapat dibunuh. (hal. xii).
Umat Islam memang bisa tersengat imannya dengan opini yang diungkapkan Fouda. Meskipun bukan ahli sejarah Islam, Fouda mengaku “telah membaca sejarah secara tekun, menganalisisnya dengan cermat, mengeceknya dengan teliti” (KYH, hlm. 1). Karenanya, dia berani menuangkan buah pikirannya tentang sejarah yang menurutnya dibingkai dengan “akal sehat” dan menghindari khayalan subyektif yang dapat mendorong terjadinya penambahan atau pengurangan yang melampaui kebenaran sejarah (KYH, hlm. 2). Fouda menegaskan, Kebenaran yang Hilang ditulis “bukan untuk kepentingan propaganda, mengolok-olok ataupun mengejek, tetapi untuk kepentingan kecermatan dan ketelitian dalam mengungkap kebenaran sejarah” (KYH, hal. 2).
Itulah klaim Fouda. Tapi, jika ditelaah pada sumber-sumber yang dirujuknya, kenyataannya jauh panggang dari api. Kajian Fouda bukan hanya sering tidak obyektif, tidak komprehensif, dan tidak jujur. Tapi juga lemah dari segi metodologi. Untuk menentukan kekuatan suatu fakta, Fouda merasa cukup dengan hanya mengutip riwayat minor dari salah satu sumber rujukan, tanpa harus meneliti atau membandingkan dengan riwayat-riwayat lain yang dimuat dalam sumber yang sama, apatahlagi sumber lain.
Di sinilah letak kelemahan kajian Fouda yang paling mendasar. Fouda mengutip sumber-sumber sejarah klasik secara sembarangan, sesuai dengan kemauannya. Riwayat-riwayat yang tidak jelas sumbernya, dia kutip sebagai rujukan cerita, dengan menafikan riwayat lain yang jelas dan kuat sumbernya. Cara-cara seperti ini memang biasa digunakan oleh kaum orientalis dalam menulis sejarah Islam. Sayangnya, kaum sekular-liberal, seperti Fouda, juga mengikuti jejak kaum orientalis dalam memberikan citra buruk tentang sejarah Islam.
Dengan metode yang serampangan seperti itu, Fouda membuat gambaran yang sangat tidak beradab (baca: biadab) terhadap Sayyidina Usman r.a. Simaklah gambaran buku ini tentang Usman bin Affan r.a.:
”Namun Usman membawa umat Islam ke dalam polemik tentang sosok dirinya. Para pemimpin di dalam Ahl al-Hall wa al-’Aqdi membuat konsensus untuk melarikan diri dari kepemimpinannya, baik lewat cara pemecatan menurut kalangan ahli pikirnya, maupun kekerasan menurut kalangan garis kerasnya. Wibawanya terguncang di mata rakyat, sampai sebagian masyarakatnya menghunus pedang yang siap mencincangnya dan menohoknya ketika berada di atas mimbar. Bahkan sebagian menghinanya dengan sebutan Na’tsal, sebutan untuk orang Kristen Madinah bernama Na’tsal yang kebetulan berjenggot lebat seperti Usman. Para pemuka sahabat pun menentangnya, ini adalah sesuatu yang sangat terang benderang menunjukkan bahwa ia keluar dari ketentuan al-Quran dan Sunnah. Karena itu, muncul seruan secara terang-terangan untuk membunuhnya. Hadits Aisyah meriwayatkan: “Bunuhlah Na`tsal, dan terlaknatlah Na`tsal.” (KYH, hal. 25).
Selanjutnya, untuk lebih mempertajam citra buruk Usman r.a., Fouda menulis secara dramatis kisah kematian Usman dan pemakamannya:
”Ia terbunuh oleh tangan umat Islam sendiri yang bersepakat memberontak dan mengepung rumahnya. Dan anda dapat saja membayangkan bahwa kematian Usman telah melegakan hati sebagian umat Islam. Bahkan, permusuhan sebagian umat Islam atas dirinya berlangsung setelah kematiannya....” (KYH, hal. 25)
Lebih tragis lagi adalah gambaran Fouda tentang jenazah Sayyidina Usman r.a.:
“Mayat Usman harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ia ditandu empat orang…dan Abu Jahm bin Huzaifah. Ketika ia disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya… Mereka juga melarangnya untuk dimakamkan di pekuburan Baqi`. Abu Jaham lalu berkata, ‘Makamkanlah ia karena Rasulullah dan para malaikat telah bershalawat atasnya’. Akan tetapi, mereka menolak, ‘Tidak, ia selamanya tidak akan dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di Hisy Kaukab (sebuah areal pekuburan Yahudi). Baru tatkala Bani Umayyah berkuasa, mereka memasukkan areal pemakaman Yahudi itu ke dalam kompleks Baqi`” (KYH, hal. 26).
Sayyidina Usman r.a. adalah salah satu sahabat Nabi terkemuka yang sangat dihormati oleh umat Islam. Dia juga menantu Nabi saw. Kaum Muslimin tak putus mengirim doa kepadanya bersama shalawat untuk Rasulullah saw. Diri dan hartanya telah diserahkan untuk perjuangan Islam. Tapi, gambaran hebat tentang Usman r.a. itu diporakporandakan oleh Farag Faouda. Bahkan, Fouda berfantasi lebih jauh lagi: ”Usman diposisikan sebagai orang paling hina dan paling sial di antara umat Islam.” (hal.27).
Itulah gambaran sangat tidak beradab tentang Usman r.a. yang dilakukan oleh Fouda yang bukunya dipuji-puji oleh dua guru besar sejarah di Indonesia. Upaya membuat gambaran buruk terhadap Usman itu tidak akan berhasil, sebab data dan caranya memang sangat tidak ilmiah. Bagi sejarawan yang mau menelaah sumber-sumber primer sejarah Islam, tidak terlalu sulit untuk membuktikan kecurangan Fouda dan kenaifan dua Profesor sejarah tersebut.
Fakta sejarah menunjukkan tidaklah benar bahwa para pemuka sahabat yang tergolong Ahl al-Hall wa al-`Aqd sepakat menjauhi Usman dengan cara-cara tak terhormat. Apalagi menyebutkan, bahwa Aisyah menyuruh membunuh Usman. Dalam edisi bahasa Arab ditulis: “Haytsu yurwa ‘an Aisyah qauluha uqtulu Na’tsalan wa la’anallaahu Na’tsalan.” Jadi, menurut Fouda, Aisyah sendiri yang mengutuk Utsman dan memerintahkan pembunuhan terhadap Usman.
Dengan cara seperti itu, Fouda sedang menggiring pembaca pada sebuah kesimpulan bahwa pembunuhan Usman sudah selayaknya terjadi. Menurut Fouda, peristiwa tersebut “melibatkan” atau setidaknya mendapat dukungan dari para pemuka Sahabat, seperti Ali, Zubair, Thalhah, Sa`id bin Zaid, Ibn Umar, Ibn Abbas dan lain-lain, yang tergabung dalam Ahl al-Hall wa al-`Aqd. Padahal, faktanya, sama sekali tidak seperti itu. Para sahabat itu sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Usman.
Sayangnya, Fouda tidak menyebut data yang lebih spesifik dan rujukan yang dapat diukur kebenarannya. Tidak ada riwayat yang jelas dari hadits yang disebutkan Fouda tentang riwayat `Aisyah yang memerintahkan membunuh Usman r.a. Bahkan, `Aisyah ra. sendiri, seperti diriwayatkan Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir dengan sanad yang baik, mengutuk pembunuh Usman, “Usman dibunuh secara zalim. Terkutuklah pembunuhnya” (Muhammad al-Ghabban, Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 426).
Untuk membuktikan kesalahan Fouda dalam mengutip sumber-sumber sejarahnya, cukup melacak kitab sejarah yang ditulis al-Thabari dalam subjudul, Dzikr al-Khabar `an al-Mawdhi` al-Ladzi Dufina fihi `Utsman…(al-Tarikh, 2/687). Buku inilah yang dirujuk dengan tidak cermat oleh Fouda. Simaklah fakta-fakta yang tersaji dalam Kitab al-Thabari tersebut:
Terkait masalah prosesi pemakaman Usman, al-Thabari sebenarnya menyebut 9 riwayat dari 4 sumber, dengan urutan seperti berikut; Ja`far bin Abdullah al-Muhammadi (2 riwayat), al-Waqidi (4 riwayat), Ibn Sa`ad (1 riwayat), dan Saif bin Umar (2 riwayat). Riwayat yang dikutip Fouda di atas adalah riwayat ketiga al-Waqidi. Padahal, sebenarnya, kitab ini menyebut sejumlah riwayat.
Menurut riwayat pertama al-Muhammadi, Usman dimakamkan di Hasy Kaukab. Riwayat kedua al-Muhammadi: sebuah kebun di luar [Baqi`]. Riwayat pertama al-Waqidi: di Baqi`. Riwayat kedua al-Waqidi: di perkebunan dekat Baqi`. Riwayat keempat al-Waqidi: di Baqi`. Riwayat Ibn Sa`ad: di Hasy Kaukab. Dan riwayat pertama Saif: di areal Baqi` yang berdampingan dengan Hasy Kaukab.
Kenapa Fouda hanya mencatut riwayat ketiga al-Waqidi untuk mendukung argumentasinya? Ini menunjukkan bahwa Fouda menulis sejarah dengan tidak cermat dan tidak komprehensif. Semua riwayat itu adalah lemah, dan anehnya Fouda sengaja mengambil satu saja riwayat diantara riwayat yang lemah. Itupun baru seputar riwayat-riwayat al-Thabari. Sejarawan yang baik tentunya akan berusaha menggali riwayat-riwayat sejenis dari kitab lainnya, misalnya al-Thabaqat al-Kubra, karya Ibn Sa’ad. Dalam kitab ini, Ibn Sa`ad menyebut beberapa riwayat dari `Amr bin Abdullah dan al-Waqidi yang jelas-jelas menyatakan Usman dimakamkan langsung pada malam harinya di Baqi` (al-Thabaqat, 3/77-78).
Maka, bukankah hal yang ajaib, jika seorang Profesor sejarah seperti Syafi’i Maarif menyebut buku Fouda ini sebagai “obyektif dan komprehensif”!!!
Cobalah simak kekeliruan Fouda berikutnya!
Fouda menulis bahwa Usman dimakamkan di areal pekuburan Yahudi (KYH, hal. 26). Keterangan tersebut tidak tercantum dalam redaksi riwayat al-Waqidi yang dikutip Fouda. Bahkan juga tidak terdapat dalam riwayat-riwayat lain yang disebut al-Thabari. Penjelasan semacam itu tentu sangat fatal, sebab siapa pun akan membayangkan, Usman r.a. dimakamkan bukan di pemakaman Islam, tetapi di pemakaman Yahudi. Inilah salah satu fitnah dan kejahatan besar yang dilakukan Fouda dalam melecehkan menantu Rasulullah saw dan salah satu sahabat Nabi terkemuka. Maka, aneh sekali, jika manusia seperti Fouda ini justru didukung dan dibanggakan oleh dua sejarawan terkemuka di Indonesia seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif.
Kasus pembunuhan Usman sebenarnya telah ditelaah secara mendalam dalam tesis master Muhammad al-Ghabban di Universitas Islam Madinah dengan judul Fitnat Maqtal `Utsman. Dalam tesisnya, al-Ghabban meneliti dengan cermat semua riwayat tentang prosesi pemakaman dan penyalatan Usman. Kesimpulannya, tidak ada satu pun riwayat yang benar-benar shahih, tetapi semuanya lemah. Hanya saja, ada sebagian yang saling menguatkan. Di antaranya, jenazah Usman dishalatkan dan dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah kebun dekat Baqi` yang kemudian dimasukkan ke dalam areal Baqi` (Fitnat Maqtal `Utsman, hal. 260-261). Jadi, sebenarnya, riwayat yang menyatakan bahwa Usman dimakamkan di pemakaman Yahudi, sama sekali tidak ada, dan itu adalah fantasi Fouda sendiri.
Penutup
Farag Fouda telah menjadi sejarah. Karyanya sama sekali tidak layak masuk kategori buku sejarah yang komprehensif. Maka, seyogyanya, orang-orang seperti Prof. Azyumardi Azra dan Prof. Syafi’i Maarif lebih berhati-hati dalam menilai suatu karya sejarah. Tidaklah patut bersorak gembira menyambut satu karya, hanya karena karya itu luar biasa dalam menggambarkan keburukan generasi sahabat Nabi saw dan hitamnya sejarah Islam. Apalagi itu dilakukan oleh seorang guru besar sejarah.
Sebaiknya, sebelum berkomentar, periksalah sumber-sumber aslinya. Juga, periksa juga
terjemahan edisi Indonesianya. Sebab, banyak sekali kesalahan fatal dalam terjemahan. Misalnya, ditulis: “Umair bin Dzabi`i datang meludahinya, lalu ia mematahkan salah satu persendiannya” (KYH, hal. 26). Kalimat fa naza `alaih seharusnya diartikan “melompat atau menyergap kearahnya”, bukan ”datang meludahinya”. Sedangkan kasara dhil`an seharusnya diartikan “mematahkan salah satu tulang rusuk”, bukan ”persendian”.
Kekayaan al-Zubair di Mesir, Aleksandria, Kufah dan Basrah yang dalam teks asli riwayat Ibn Sa`ad disebut Khithath dan Dur disalah-artikan menjadi armada laut dan angkutan darat! Padahal arti semestinya adalah “beberapa bidang tanah” dan “beberapa rumah.”
Akhirul kalam, sebagai peminat sejarah, yang bukan porfesor dan bukan doktor, saya hanya bisa menyarankan, agar orang-orang terhormat dalam bidang sejarah itu bisa menjaga kehormatannya, di dunia dan akhirat! Ingatlah, tanggung jawab keilmuan sangat berat, apalagi menyangkut harkat dan martabat seorang sahabat Nabi saw yang mulia, yang Nabi sendiri telah memuji dan memuliakannya. Lagi pula, apa untungnya mengumbar fitnah dan caci maki kepada sahabat Nabi?