Senin, 28 Juli 2008

MENULIS ULANG SEJARAH ISLAM*


Persoalan Materi, Metodologi, dan Interpretasi.

Asep Sobari, Lc

Penulisan sejarah ditentukan oleh tiga faktor penting yang sangat menentukan bobot kajian sejarah, yaitu materi, metodologi dan interpretasi, karena ketiganya tidak hanya menjamin otentisitas dan obyektivitas penulisan sejarah, tapi juga dapat menampilkan sejarah sebagai unsur dinamis dalam kehidupan nyata.

Pelopor penulisan sejarah Islam dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
1) Muhaddits (ahli hadits)
Dari segi metodologi, kelompok Muhaddits memiliki kelebihan karena terseleksi dengan baik, karena adanya penerapan metode hadits dalam riwayat-riwayat sejarah yang mereka catat. Tetapi kelemahan metode ini, adalah terbatasnya jumlah riwayat sejarah dan tidak menampilkan peristiwa secara utuh.

2) Akhbari
Kelompok akhbari lebih menonjolkan pengayaan riwayat dalam setiap peristiwa sejarah yang ditulis sehingga dapat menggambarkannya dengan utuh. Selain tidak menerapakan kritik terhadap riwayat sejarah yang dihimpunnya, kecendrungan-kecendrungan subjektif sejarawan akhbari –yang semuanya lahir setelah masa fitnah (kekacauan politik) dan kemunculan aliran-aliran ideologis-, seperti tendensi ideologi, politik dan fanatisme, berdampak besar terhadap bobot riwayat-riwayatnya.

Berbeda dengan sejarawan ahli hadis, para ahli kritik riwayat hadits menyimpulkan kebanyakan sejarawan akhbari tidak cukup kuat. Bahkan, tidak sedikit yang memiliki tendensi subjektif serius yang berdampak pada lemahnya riwayat yang mereka sampaikan. Persoalan ini menjadi semakin rumit, ketika kita dapati, ahli sejarah sekaliber Ibn Jarir Al-Thabari (310H) yang melahirkan karya monumental, Tarikh Al-Rusul wa al-Muluk, tidak memiliki pilihan lain selain mengutip riwayat-riwayat akhbari dan menjadikannya sebagai referensi penting dalam beberapa bagian bukunya.
Namun demikian At-Thabari mampu membingkainya dalam sebuah kerangka metodologi penulisan yang tegas dan cerdas, yakni mencantumkan semua sanad (para perawi) riwayat akhbari. Sehingga ia membuka jalan bagi setiap pembaca bukunya untuk menakar riwayat-riwayat sejarah akhbari yang tendensius dan tidak logis dengan metode kritik riwayat yang tentu sangat familier pada masanya- sekaligus menolak dirinya dicatut sebagai sumber riwayat tersebut.

Dalam memperlakukan buku-buku sejarah klasik, hendaknya tidak menjadikan sebagai rujukan final dan dianggap sebagai kerangka sejarah sejarah Islam yang telah eksis. Melainkan seperti yang dinyatakan Muhibbuddin al-Khatib,” sebagai materi yang sangat kaya untuk dikaji dan diteliti sampai berhasil membangun kerangka sejarah kita darinya.

Sejarah jangan diperlakukan lagi sebagai kumpulan fakta dan data dan tidak menjadi tumpukan dokumentasi masa lalu. Tetapi kita harus mampu menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga dalam bentuk rangkaian aturan-aturan Allah (sunnatullah) yang sangat efektif membantu menemukan jalan menuju kemajuan beradaban dan menghindari kesalahan-kesalahan generasi masa lalu. Pelajaran selalu terkandung dalam setiap pelajaran sejarah, tapi Al Qur’an memberi syarat yang sangat ketat agar pelajaran itu dapat dikuasai dan berfungsi semestinya.

Penulisan buku referensi sejarah dan peradaban Islam di sekolah-sekolah, terutama yang menjadi panduan pada universitas negeri Islam di Indonesia, ternyata memiliki banyak permasalahan.Dalam pemaparannya, narasumber mengungkapkan beberapa permasalahan seperti pada perang Jamal di katakan bahwa Aisyah ditangkap dan ditawan oleh Ali. Padahal jika Aisyah benar-benar menjadi tawanan perang, maka statusnya menjadi budak, dan itu tidak mungkin terjadi. Ali pada saat itu juga melarang untuk mengambil harta rampasan pada saat perang Jamal. Salah satu permasalahan lainnya dalam buku-buku itu adalah penggambaran khalifah Utsman yang dianggap Nepotisme dan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan tidak tegas. Hal itu merupakan masalah tersendiri yang perlu diluruskan dengan menulis ulang sejarah Islam. Belum lagi upaya-upaya untuk mencitrakan bahwa sejarah dan peradaban Islam penuh dengan darah.

Upaya pelurusan sejarah dan penulisan ulang sejarah Islam ini merupakan tantangan tersendiri, tetapi bukan mustahil. Muhibbuddin al-Khatib menjamin upaya ini sangat mungkin ditempuh dan mudah, asalkan asbabnya terpenuh, yakni memiliki kemampuan yang mmemadai untuk menilai kuat dan lemahnya sumber-sumber sejarah, dan kecerdasan yang mumpuni yang menyimpulkan fakta kejadian sebenarnya, sehingga dapat mengabil sumber berita yang bendar dan memisahkannya dari tambahan-tambahan fiktif. Dan tentunya interpretasi terhadap sejarah tersebut harus dilakukan oleh orang-orang yang takut. Yaitu takut yang tumbuh dari keyakinan dan pengetahuan mendalam terhadap sunnah-sunnah Allah, seperti ulama, atau Uli al-abshar dan Uli al-Albab, yaitu orang-orang yang mampu menggabungkan kekuatan takwa dengan kecerdasan Intelektual.

Sudah seharusnya umat bangga dengan kegemilangan sejarahnya yang terlalu sulit dicari tandingan dalam sejarah umat mana pun, lalu menjadikannya inspirasi yang sangat berharga guna tampil kembali di pentas peradaban dunia dengan membawa nilai-nilai luhur risalah yang tidak banyak disadari oleh manusia masa kin, bahwa disanalah solusi yang selama ini mereka dambakan untuk mengatasi krisis kemanusian yang kian rumit dan kompleks.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kang Asep, harusnya untuk level artikel seperti yang antum punya ini jangan pake blog, pake web aja biar lebih greget.