Minggu, 03 Agustus 2008


HUBUNGAN YAHUDI-ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW
Oleh: Asep Sobari, Lc.

Apakah Rasulullah saw. Berhubungan dengan Penganut Yahudi di Mekah?

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyinggung Bani Isra’il dan agama Yahudi. Kedudukan mereka sebagai Ahl al-Kitab menjadi sorotan tersendiri, karena sepatutnya merekalah orang yang lebih cepat menerima ajaran Al-Qur’an yang merupakan penerus dan membenarkan ajaran asli Taurat.

Persinggungan wacana yang dikembangkan dalam Al-Qur’an mendahului kontak fisik antara Rasulullah saw. dan kaum muslimin dengan masyarakat Yahudi. Meskipun sulit dipungkiri adanya sejumlah saudagar Yahudi yang berdagang ke Mekah dan tinggal disana untuk urusan berbisnis, namun tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah berhubungan dengan mereka, terlebih lagi dalam masalah agama.

Kabar tentang masayarakat Yahudi tentu diketahui, bahkan dikuasai dengan baik oleh Rasulullah saw. Selain cepat atau lambat, pasti akan berhubungan dengan penganut Taurat tersebut, harapan Rasulullah saw. untuk menemukan alternatif pusat dakwah Islam selain Mekah, mendesak beliau untuk mengetahui lebih detail kondisi masyarakat-masyarakat di sekitarnya, termasuk Madinah.

Karena itu, saat menemui sekelompok pemuda Khazraj di Mina, pertanyaan pertama yang beliau sampaikan adalah, “Apakah kalian orang-orang yang beraliansi dengan Yahudi?”. (Ibn Hisyam: 428). Tampaknya beliau sudah sangat menguasai seluk beluk karakter sosial Madinah, termasuk hubungan Aus dan Khazraj dengan klan-klan Yahudi yang tinggal berdampingan dengan mereka itu.

Dakwah Rasulullah saw. kepada Masyarakat Yahudi

Hubungan dakwah Rasulullah saw. dengan Yahudi Madinah terjalin sejak dini. Riwayat Bukhari dan Ibn Ishaq mengisyaratkan kedatangan Abdullah bin Salam, seorang ulama Yahudi Bani Qainuqa`, dan keputusannya memeluk Islam terjadi hanya beberapa saat setelah beliau menetap di Madinah. Peristiwa ini pula yang memicu undangan Rasulullah saw. kepada masyarakat Yahudi untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjadikan Abdullah bin Salam sebagai bukti pembenarannya (al-Mubarakfuri: 140).

Piagam Madinah; Konsepsi Konstitusi Islam untuk Masyarakat Plural

Kedatangan Rasulullah saw. ke Madinah secara langsung menjadi penguasa baru di kota tersebut, karena Aus dan Khazraj, dua klan Arab yang mendominasi Madinah, adalah pihak yang mengundang sekaligus mengangkat beliau sebagai pemimpin.

Latar belakang masyarakat Madinah yang sangat majemuk, karena terdiri dari beberapa etnik Arab dan Yahudi, mendesak adanya peraturan umum yang mengatur kehidupan bersama dengan baik. Disinilah letak pentingnya Piagam Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan kaedah dan prinsip Islam. Hal ini juga membuktikan, ajaran Islam dapat mengatur kepentingan bersama masyarakat muslim dan non muslim, tanpa harus menghilangkan karakter khas masing-masing, terutama agama.

Al-Mubarakfuri merangkum beberapa bagian pasal Piagam Madinah yang mengatur hubungan masyarakat Muslim dengan Yahudi seperti berikut,
1. Yahudi Bani `Auf merupakan satu komunitas bersama masyarakat Mu’min. Orang-orang Yahudi berhak menjalankan agama mereka dan orang-orang muslim berhak menjalankan agama mereka…begitu juga klan-klan Yahudi lainnya diluar Bani `Auf.
2. Masyarakat Yahudi harus menanggung biaya hidupnya sendiri dan orang-orang muslim juga harus menanggung biaya hidupnya sendiri.
3. Masyarakat Yahudi dan Muslim harus saling bahu membahu melawan musuh yang menyerang pihak yang menandatangani Piagam ini.
4. Mereka juga harus saling memberi saran dan nasihat dalam kebaikan, tapi tidak demikian dalam kejahatan.
5. Siapa pun yang dizalami maka wajib ditolong.
6. Masyarakat Yahudi dan Mu’min harus bersatu padu ketika diserang musuh.
7. Jika terjadi perselisihan atau pertikaian antara pihak-pihak yang menyepakati Piagam ini, sehingga khawatir akan merusak hubungan, maka keputusannya harus dikembalikan kepada hukum Allah `azza wa jalla dan Muhammad, utusan Allah saw.
8. Siapa pun tidak boleh memberi suaka (perlindungan) kepada Quraisy dan pendukungnya (al-Mubarakfuri: 182).

Pengkhianatan dan Konspirasi Yahudi

Dipandang dari sudut mana pun, bagi masyarakat Yahudi, kedatangan Rasulullah saw. dan kaum muslimin ke Madinah tidak menguntungkan. Keharmonisan Aus dan Khazraj adalah ancaman terbesar sejak lama, apalagi ditambah pihak ketiga yang menjadi kekuatan baru yang semakin merekatkan hubungan mereka. Masyarakat Yahudi tidak pernah dapat menghapus trauma kehadiran pihak asing yang bertentangan dengan kepentingan mereka.

Terlebih lagi, masyarakat Muhajirin Mekah adalah pedagang-pedagang handal. Sejak hari-hari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan kepiawaian dalam meraih keuntungan di pasar Bani Qainuqa` (Bukhari: no. 1908). Seiring dengan perjalanan waktu, Usman bin `Affan, Zubair bin `Awwam dan nama-nama populer lainnya dalam kancah perdagangan Arab masa itu menjadi pesaing-pesaing berat bagi pedagang Yahudi.

Persaingan di pasar diperparah dengan keputusan Rasulullah saw. membangun pasar baru bagi kaum muslimin (al-Karami: 169) dan kehadiran aturan-aturan baru dalam segala transaksi ekonomi. Larangan menipu, menimbun, menjual khamr dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang sistem ‘pasar bebas’ yang berkembang sebelumnya. Khamr (arak) merupakan komoditi yang sangat potensial bagi masyarakat Yahudi. Selain menjajakan arak lokal, mereka biasa mengimpornya dari Syam.

Semua faktor di atas, selain tentu saja keyakinan dan agama, meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu ataupun kolektif kelompok Yahudi untuk memicu perselisihan hingga perang besar-besaran.

Benih-benih Pengkhianatan

Ibn Ishaq meriwayatkan, Syas bin Qais, seorang sesepuh Yahudi melewati sekelompok pemuda Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul. Mereka terlibat perbincangan yang hangat dan harmonis. Pemandangan ini membakar hati Syas, maka segera ia suruh seorang pemuda Yahudi untuk ikut dalam pembicaraan tersebut dengan mengingatkan mereka kepada peristiwa kelam di masa lalu, perang Bu`ats yang telah menelan korban tokoh-tokoh besar Aus dan Khazraj.

Kehangatan segera berubah menjadi ketagangan. Kedua kelompok Anshar tersebut nyaris saja baku hantam, bahkan terlibat pertumpahan darah, jika saja Rasulullah saw. tidak segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553-554).

Kasus Ka`b bin Asyraf, tokoh terkemuka Bani Nadhir, merupakan model paling krusial penaburan benih pengkhiantan dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media propaganda paling efektif masa itu, menempatkan Ka`b dalam posisi yang sangat membahayakan. Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, Ka`b menunjukkan permusuhannya secara terbuka. Ia segera pergi ke Mekah untuk mengucapkan simpati dan bela sungkawa atas terbunuhnya pembesar-pembesar Quraisy di Badar dalam rangakaian puisi yang menyayat hati. Tidak cukup disitu, ia juga mengobarkan semangat Quraisy untuk segera melupakan kekalahan dan menyiapkan pembalasan yang jauh lebih hebat (al-Shallabi: 2/56-58).

Konspirasi Yahudi

Bani Qainuqa` adalah klan Yahudi yang lebih dulu menunjukkan aksi pengkhianatan kolektif terhadap kesepakatan Piagam Madinah. Kemenangan kaum muslimin di Badar membuka mata mereka, bahwa kekuatan dan dominasi kaum muslimin di Madinah menjadi kenyataan. Bagi Bani Qainuqa`, ketergantungan ekonomi kepada mekanisme pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.

Tampaknya benih pengkhiantan kolektif Bani Qainuqa` telah tercium oleh Rasulullah saw. Menurut Abu Dawud, beberapa saat setelah kembali dari Badar, Rasulullah saw. mengumpulkan Bani Qainuqa` di pasar mereka untuk memberi peringatan. Namun juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab, “Hai Muhammad! Jangan pernah merasa bangga hanya karena berhasil membunuh segelintir orang-orang Quraisy yang tidak pandai berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak berkutik melawan kami”. (al-Mubarakfuri: 226)

Sebatas perlawanan verbal, Rasulullah saw. hanya melihatnya sebagai indikator pengkhianatan. Tapi setelah terjadi kasus pelecehan wanita muslim di pasar Bani Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya, Rasulullah saw. mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari Madinah.

Pembunuhan Ka`b bin Asyraf dan pengusiran Bani Qainuqa` dari Madihan cukup meredam gejolak pengkhianatan klan Yahudi lainnya. Tapi kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud dan tragedi Bi’r Ma`unah menumbuhkan kepercayaan diri Yahudi. Bani Nadhir, klan yang paling kuat saat itu, berkhianat. Diawali dengan memberi perlindungan kepada Abu Sufyan saat melakukan oprasi militer (Perang Sawiq) ke Madinah (Ibn Ishaq: 108).

Pelanggaran terhadap salah satu pasal Piagam Madinah tersebut disusul dengan pelanggaran lain. Bani Nadhir tidak bersedia menanggung biaya diyat (denda pembunuhan) yang seharusnya dipikul bersama. Bahkan lebih jauh lagi, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi saw. (al-`Umari: 146). Rencana busuk itupun terbongkar, sehingga Rasulullah saw. segera mengumumkan ultimatum pengusiran Bani Nadhir dari Madinah.

Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay, pemimpin kelompok Munafik menjanjikan bantuan (al-Mubarakfuri: 280), tapi kemudian menyerah dan terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada dasarnya, mereka diusir ke Syam, tapi sejumlah tokoh penting Bani Nadhir seperti Huyay bin Akhthab, Salam bin Abi al-Huqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (al-Umari: 149).

Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab

Ahzab adalah aliansi sejumlah klan Arab besar yang meliputi Quraisy, Ahbasy, Ghathafan bersama sekutunya. Mereka melakukan kesepakatan dengan Yahudi untuk menyerang Madinah. Perang Ahzab yang mencatat rekor fantastik dalam sejarah peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti kelihaian lobi Yahudi.

Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di Khaibar dan dipimpin oleh kelompok elit Bani Nadhir, yaitu Salam bin Abi al-Huqaiq, Huyay bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar (al-Shallabi: 2/256). Pembentukan tim ini tentu disetujui oleh tokoh-tokoh Yahudi Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.

Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy dan Ghathafan. Selain merupakan kabilah besar dan memiliki sekutu yang loyal, keduanya memiliki kepentingan langsung dengan Madinah. Menggalang dukungan Quraisy tentu lebih mudah, karena permusuhan mereka dengan Madinah sudah cukup menjadi pemicu utama. Tapi para provokator ini menambahkan dukungan moral yang tidak kecil, yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy lebih baik daripada agama Muhammad saw. Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah al-Nisa’: 51-52:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya”.

Sedangkan untuk meraih dukungan Ghathafan, tim Yahudi melakukan kontrak kesepakatan dengan kabilah besar Najed tersebut dalam dua pasal yang saling menguntungkan; 1). Ghathafan harus menghimpun pasukan sebanyak 6000 orang; 2). Yahudi akan membayar klan-klan Ghathafan yang bergabung dalam pasukan tersebut seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (al-Shallabi: 2/257).

Lobi Yahudi ini berhasil dengan gemilang. Kabilah-kabilah Arab yang telah melakukan kesepakatan itu berdatangan ke Madinah dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Tidak tanggung-tanggung, jumlah mereka mencapai 10.000 pasukan. Jumlah yang disebut al-Mubarakfuri sebagai catatan rekor fantastis dalam sejarah kemiliteran Arab pada masa itu.

Merasa tidak cukup dengan menggalang kekuatan Arab. Huyay bin Akhthab berusaha keras membujuk klan Yahudi terakhir yang masih berada di Madinah dan mentaati kesepakatan Piagam Madinah, Bani Quraizhah, untuk mendukung logistik Ahzab dan menggerogoti kekuatan Madinah dari dalam. Lobi inipun akhirnya berhasil. Quraizhah berkhianat, sehingga Madinah semakin terjepit (al-Mubarakfuri: 293). Namun dengan strategi yang jitu dan pertolongan Allah swt., akhirnya kaum muslimin berhasil keluar dari medan perang sebagai pemenang.

Dengan pengkhianatan Bani Quraizhah, habislah kekuatan Yahudi di Madinah. Rasulullah saw. menghukum meraka sebagai pengkhianat perang, semua laki-laki Bani Quraizhah yang terlibat perang dipancung, anak-anak dan wanita ditawan, dan harta benda mereka dirampas (al-Mubarakfuri: 301).

Setelah itu, kekuatan Yahudi yang signifikan hanya tersisa di Khaibar. Di tempat inilah tersimpan potensi ancaman yang tidak dapat diremehkan. Selain menjadi rahim yang melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki benteng-benteng yang kuat dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang menghubungkan daerah timur dan selatan Jaziarah Arab.

Rasulullah saw. harus konsentrasi penuh guna melumpuhkan kekuatan Khaibar. Gencatan senjata yang disepakati dengan Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 H menjadi momentum yang sangat tepat. Beberapa saat setelah itu Rasulullah saw. langsung melancarkan serangan besar-besaran ke Khaibar dan menang. Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari daerah tersebut, melainkan diizinkan tinggal untuk mengelola kebun-kebun Khaibar dan berbagi hasil dengan para pemilik barunya, kaum muslimin.

Penutup

Demikianlah sekelumit gambaran kehidupan masyarakat Yahudi, terutama di Madinah, dan persentuhan mereka dengan kaum muslimin pada permulaan sejarah Islam. Penyimpangan dari ajaran taurat yang mengkristal dalam nilai dan sistem yang mendasari kehidupan sosial, ekonomi dan politik, berakibat pada penolakan mereka terhadap ajaran Islam.

Namun demikian bukan berarti seluruh masyarakat Yahudi menolak Islam. Sejarah mencatat bebarapa individu Yahudi memeluk Islam saat itu. Diantaranya adalah Abdullah bin Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516)[1]; Yamin bin `Amr dan Abu Sa`d bin Wahb dari Bani Nadhir (al-`Umari: 149); dan `Athiyyah al-Qurazhi, Abdurrahman bin Zubair bin Batha, Rifa`ah bin Samuel dan beberapa orang lagi dari Bani Quraizhah (al-Mubarakfuri: 302).


RUJUKAN

1. Al-Qur’an al-Karim
2. Shahih al-Bukhari [MS]
3. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah [MS]
4. Al-`Umari, Akram Dhiya’, al-Mujtama` al-Madani fi `Ahd al-Nubuwwah [MS]
5. Al-Mubarakfuri, Shafiy al-Rahman, al-Rahiq al-Makhtum, Dar al-Salam-Riyadh, 1418H
6. Al-Shallabi, Ali Muhammad, al-Sirah al-Nabawiyyah; `Ardh Waqa’i` wa Tahlil Ahdats, Dar Ibn Katsir-Beirut, 1425H/2004

7. Al-Karami, Hafizh Ahmad `Ajjaj, al-Idarah fi `Ashr al-Rasul, Dar al-Salam-Cairo.


[1] Ibn Ishaq menyebut beberapa nama Yahudi lain yang masuk Islam dan disertakan dengan Abdullah bin Salam, yaitu Tsa`labah bin Sa`yah, Usaid bin Sa`yah dan Asad bin `Ubaid (Ibn Hisyam: 557). Tidak menutup kemungkinan mereka juga berasal dari Bani Qainuqa`.

Jumat, 01 Agustus 2008

MELURUSKAN KEMBALI RIWAYAT PERNIKAHAN `AISYAH RA.
Oleh: Asep Sobari, Lc.

Pada bagian Appendix B dari buku yang berjudul Muhammad SAW; The Super Leader-Super Manager karya Dr. M Syafii Antonio M.Ec, tertulis judul yang cukup menarik ‘Meluruskan Riwayat Pernikahan Rasulullah SAW-`Aisyah ra.’

Dikatakan menarik karena dari tulisan tersebut dapat disimpulkan, `Aisyah ra. tidak dinikahi Rasulullah saw. pada usia 6 tahun dan tentu juga tidak mulai serumah dengan beliau saat berusia 9 tahun, sebagaimana yang dikenal luas saat ini. Menurut tulisan ini lagi, berdasarkan kajian yang dibuatnya, sebenarnya saat `Aisyah menikah, usianya sekitar 17-18 tahun dan serumah dengan Rasulullah saw. pada usia 19-20 tahun.

Benarkah demikan? Untuk menjawabnya, kita harus tahu lebih dulu pandangan para sejarawan muslim tentang masalah ini. Kemudian mengkritisi argumentasi-argumentasi Dr. Syafii Antonio yang membawa kepada kesimpulannya itu. Setelah itulah kita baru akan mendapat jawaban yang tepat.

Pernikahan `Aisyah menurut Sejarawan
Riwayat pernikahan `Aisyah ra. dengan Rasulullah saw. tentu sangat populer sehingga hampir dipastikan semua sejarawan muslim memuat peristiwa tersebut di dalam karya-karya mereka. Disini kita akan menelusuri pemaparan beberapa sejarawan saja, tapi dengan kapasitas yang cukup representatif.

Muhammad ibn Sa`ad (w.230H): “`Aisyah ra. lahir pada awal tahun 4 Kenabian. Rasulullah saw. menikahinya pada bulan Syawal tahun 10 Kenabian, saat baru berusia 6 tahun tepat satu bulan setelah pernikahan Rasulullah saw. dengan Saudah”. (al-Thabaqat, 8/79).

Al-Baladzuri (w.279H): “Rasulullah saw. menikah dengan `Aisyah di Mekah. Saat itu `Aisyah berusia 6 tahun –ada juga yang mengatakan 7 tahun--. Dan Rasulullah saw. tinggal serumah dengannya, saat `Aisyah berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawal tahun pertama hijriyah”. (Ansab al-Asyraf, 1/181).

Ibn Jarir al-Thabari (w.310H): “Pada tahun ini (1H) Rasulullah saw. mulai tinggal serumah dengan `Aisyah, tepatnya 8 bulan setelah kedatangan beliau ke Madinah yaitu di bulan Dzul Qa`dah. Ada pula yang mengatakan di bulan Syawal, atau tujuh bulan setelah kedatangan beliau ke Madinah. Rasulullah saw. menikah dengan `Aisyah di Mekah, 3 tahun sebelum hijrah dan setelah Khadijah wafat. Ketika itu `Aisyah baru berusia 6 tahun, tapi ada pula yang mengatakan usianya 7 tahun”. (al-Tarikh, 2/9).

Ibn Katsir (w.774H): “Pernikahan itu terjadi dua tahun…sebagian mengatakan tiga tahun sebelum hijrah. Ketika itu usia `Aisyah 6 tahun dan baru tinggal serumah dengan Rasulullah saw. saat usianya 9 tahun”. (al-Bidayah wa al-Nihayah, 8/99).

Jika para sejarawan klasik hingga abad 8 hijrah dapat dikatakan sepakat tentang tahun pernikahan `Aisyah ra. dan usianya saat menikah, juga saat mulai tinggal serumah dengan Rasulullah saw., lantas bagaimana Dr. Syafii Antonio dapat membuat kesimpulan yang jauh berbeda?

Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan Dr Syafii Antonio. Tapi argumentasi-argumentasi itu bermuara pada satu titik, periwayatan usia pernikahan `Aisyah tersebut lemah dan tertolak. Alasannya dapat diuraikan seperti berikut (halaman, 303),
1. Riwayat-riwayat pernikahan `Aisyah hanya memiliki jalan periwayatan tunggal, yaitu Hisyam ibn `Urwah dari ayahnya.
2. Hisyam ibn `Urwah meriwayatkannya setelah tinggal di Iraq. Hisyam pindah ke Iraq setalah lanjut usia, yaitu 71 tahun, atau setelah kualitas ingatannya sangat menurun.
3. Para ulama, seperti Malik ibn Anas, menolak periwayatan Hisyam yang dilaporkan oleh para perawi Iraq.
4. Alhasil, riwayat umur pernikahan `Aisyah ra. yang bersumber dari Hisyam ibn `Urwah tertolak.

Biografi Singkat Hisyam ibn `Urwah

Nama lengkapnya adalah Hisyam ibn `Urwah ibn Zubair ibn `Awam dari Klan Bani Asad-Quraisy. Ayah Hisyam, `Urwah lahir dari pasangan Zubair ibn `Awam dengan Asma’ binti Abu Bakr al-Shiddiq (Thabaqat Khalifah, 1/420). Asma’ adalah kakak perempuan `Aisyah ra. dari lain ibu.

Hisyam ibn `Urwah lahir di Madinah pada tahun 61H dan wafat di Bagdad tahun 146H. Ia lebih tepat dimasukkan dalam generasi tabi`i al-tabi`in senior. Hisyam masih berjumpa beberapa sahabat Rasulullah saw. seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Anas ibn Malik dan Sahl ibn Sa`ad. Hisyam masih sempat berguru kepada Abdullah ibn Zubair, sahabat Nabi saw. yang juga pamannya. Sementara guru-gurunya yang lain dari generasi tabi`in, seperti ayahnya, `Urwah ibn Zubair, Wahb bn Kaisan, Muhammad ibn al-Munkadir, Ibn Syihab al-Zuhri dan lain-lain (Tarikh Baghdad, 6/186).

Ulama hadits menilai Hisyam sebagai ulama terkemuka (al-mam) dan menyematkan gelar ulama besar (Syaikh al-Islam). (Mizan al-I`tidal, 4/301-302). Ibn Hibban memandang kesalehan dan kekuatan hapalannya terpercaya sehingga menggolongkannya dalam kategori perawi-perawi tsiqah (Tahdzib al-Tahdzib, 11/46).

Al-Dzahabi membantah pernyataan sebagian kalangan yang meragukan kekuatan hapalan Hisyam ibn `Urwah, termasuk setelah pindah ke Iraq. Menurutnya, "Kekuatan hapalan Hisyam berkurang tapi dia tidak pernah pikun…memang, hapalan Hisyam sedikit menurun (taghayyara qalilan) dan tidak sekuat seperti ketika masih muda. Dia lupa dengan sebagian hapalannya atau keliru….setelah pindah ke Iraq di tahun-tahun terakhir hidupnya, Hisyam menyampaikan sekian banyak riwayat haditsnya. Dari semuanya itu sedikit sekali yang tidak dikuasainya dengan baik. Masalah yang lumrah dan juga pernah dialami Malik, Syu`bah, Waki`dan para perawi tsiqah terkemuka lainnya". (Mizan al-I`tidal, 4/301-302).

Terlalu berlebihan jika ingatan Hisyam dimasa tuanya dinilai sangat menurun. Apalagi ketika dikaitkan dengan riwayat pernikahan `Aisyah ra. yang masih merupakan adik perempuan neneknya. Karena itulah, Imam Bukhari setidaknya mencantumkan empat riwayat Hisyam ibn `Urwah tentang pernikahan tersebut dan semuanya dari laporan para perawi Iraq, yaitu Ali ibn Mushir al-Kufi (w.189H) [no.hadits 3605], Abu Usamah Hamad ibn Usamah al-Kufi [no. hadits 3607], Wuhaib ibn Khalid al-Bashri (w.165H) [no. hadits 4739] dan Sufyan al-Tsauri [no. hadits 4761].

Betulkah Hisyam Satu-satunya Perawi Riwayat Pernikahan `Aisyah ra.?

Memang banyak sekali riwayat pernikahan `Aisyah ra. yang berdasarkan periwayatan Hisyam dari ayahnya. Kedekatan hubungan keluarga dengan `Aisyah ra. menjadi alasan tersendiri yang menguatkan mengapa begitu banyak ulama hadits yang menggunakan riwayat Hisyam dalam karya-karya mereka, termasuk Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.

Namun tidak benar jika Hisyam adalah perawi tunggal riwayat-riwayat yang menyatakan `Aisyah ra. menikah pada usia 6 atau 7 tahun dan mulai serumah dengan Rasulullah saw. pada usia 9 tahun. Imam Muslim setidaknya mencantumkan dua jalan periwayatan pernikahan tersebut yang bukan berasal dari Hisyam ibn `Urwah. Riwayat pertama melalui jalan al-Zuhri dari `Urwah [no. hadits, 2549]. Sedangkan riwayat kedua melalui jalan Abu Mu`awiyah dari al-A`masy dari Ibrahim al-Nakha`i dari al-Aswad [no. hadits, 2550].

Riwayat-riwayat Lain Pernikahan `Aisyah ra.

Diluar Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, riwayat-riwayat pernikahan `Aisyah ra. juga banyak yang menggunakan selain jalur Hisyam ibn `Urwah dari ayahnya, atau dari jalur Hisyam tapi bukan berdasarkan laporan perawi Iraq. Berikut adalah contohnya,

1. Ibn Sa`ad meriwayatkan dari Muhammad ibn `Ubaid al-Thanafisi dari Muhammad ibn `Amr dari Abu Salamah ibn Abdurrahman dan Yahya ibn Abdurrahman ibn Hathib (al-Thabaqat, 8/57).
2. Ibn Sa`ad juga meriwayatkan dari al-Waqidi dari Abdurrahman ibn Abu al-Zinad dari Hisyam dari `Urwah (al-Thabaqat, 8/59). Perlu dicatat, Abdurrahman ibn Abu al-Zinad yang melaporkan dari Hisyam dalam sanad riwayat ini, bukan berasal dari Iraq melainkan Madinah (Tadzkirat al-Huffazh, 1/247).
3. Al-Baladzuri meriwayatkan dari Abdullah ibn Abu Syaibah dari Abu Mu`awiyah dari al-A`masy dari Ibrahim al-Nakha`i dari al-Aswad (Ansab al-Asyraf, 1/181).

Kesimpulan

Berikut adalah kesimpulan dari uraian diatas,
1. Hisyam ibn `Urwah adalah ulama besar hadits dengan kualitas periwayatan dan ingatan yang diakui oleh para kritikus hadits. Di masa lanjut usia, daya ingatannya hanya sedikit berkurang dan tidak banyak berpengaruh terhadap riwayat-riwayatnya.
2. Hisyam ibn `Urwah bukan satu-satunya perawi yang menyampaikan riwayat pernikahan `Aisyah ra., melainkan ada beberapa perawi lain seperti al-Zuhri dari `Urwah dan al-A`masy dari Ibrahim al-Nakhai. Kedua jalan periwayatan ini digunakan Imam Muslim untuk mendukung pernikahan `Aisyah dalam usia 6 atau 7 tahun.
3. Riwayat Hisyam ibn `Urwah dari ayahnya tidak hanya dilaporkan oleh para perawi yang berasal dari Iraq, tapi juga dilaporkan oleh Ibn Abu al-Zinad yang berasal dari Madinah.
4. Pernikahan `Aisyah ra. dengan Rasulullah saw. dalam usia 6 atau 7 tahun dan mulai serumah dengan beliau pada usia 9 tahun didukung oleh banyak sekali riwayat yang sebagiannya sangat kuat dan terpercaya.

Rujukan

· Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma`il, Shahih al-Bukhari [MS]
· Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim [MS]
· Ibn Sa`ad, Muhammad, al-Thabaqat al-Kubra [MS]
· Al-Baladzuri, Ahmad ibn Yahya, Ansab al-Asyraf [MS]
· Al-Thabari, Muhammad ibn Jarir, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah-Beirut.
· Al-Baghdadi, Abu Bakr al-Khathib, Tarikh Baghdad [MS]
· Ibn Katsir, Isma`il, al-Bidayah wa al-Nihayah [MS]
· Ibn Khayyath, Khalifah, Thabaqat Khalifah ibn Khayyath [MS]
· Al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh & Mizan al-I`tidal [MS]
· Al-`Asqalani, Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib [MS]