ANTARA MEKAH DAN PALESTINA
Asep Sobari
Sejarah mencatat, Ibrahim as adalah orang pertama yang menyatukan Mekah dan Palestina dalam peta dakwah. Letak dua kota yang berjauhan tersebut dihubungkan oleh Ibrahim dengan amanah paling agung yang diemban manusia, yaitu membangun peradaban risalah. Peradaban yang menurut DR Majid al-Kilani, tidak hanya memartabatkan jasmani manusia untuk sekedar dapat bertahan hidup (survive), tapi juga mengangkat semua aspek kemanusiaannya agar menjadi hamba Allah yang mulia (mukarram).
Sejak awal, peradaban yang dibangun Ibrahim as bersifat universal. Pemilihan batas wilayah geografis adalah bukti pertamanya. Wilayah yang mencakup Delta Mesir, Syam dan Hijaz tersebut merupakan jembatan yang menghubungkan pusat-pusat peradaban dunia kala itu. Dan tentu saja, masyarakat yang hidup di wilayah itu sangat heterogen, multi etnik dan seterusnya. Ibrahim sendiri berasal dari Iraq. Tapi Hajar, isteri keduanya yang melahirkan Isma`il, berasal dari Mesir. Isma`il sendiri kemudian menikah dengan wanita Arab dari kabilah Jurhum.
Selama hidupnya, Ibrahim as menetap di Palestina. Barangkali letaknya di pertengahan wilayah tersebut menjadi alasan utama. Namun demikian, hubungan Palestina dan Mekah terus dibangun dengan baik. Al-Mubarakfuri menyebut dalam ar-Rahiq, setidaknya Ibrahim melakukan empat kali perjalanan ke Mekah untuk menjenguk salah satu sayap keluarganya yang ditinggalkan di sana.
Kunjungan ini bukan sekedar kunjungan emosional karena gejolak kerinduan seorang ayah kepada anak dan isterinya. Melainkan merupakan bagian dari rangkaian ujian ekstra berat yang dalam Al-Qur’an disebut al-kalimaat, yang harus dilalui Ibrahim untuk membuktikan tingkat kelayakannya mengemban amanah risalah dan menanam benih peradaban universal (al-ummah). Karenanya, tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an kemudian menyebut Ibrahim seorang diri sebagai Ummah (An-Nahl: 120).
Ditinjau dari sudut mana pun, tugas Ibrahim as ini teramat berat. Membangun peradaban baru selalu diwarnai benturan-benturan keras dengan kepentingan kelompok elit yang mapan dalam tradisi peradaban lama, sekalipun nilai-nilainya telah usang. Itulah yang dihadapi para Nabi sepanjang sejarah dakwah mereka. Al-Qur’an selalu menyebut para penentang utama mereka adalah golongan elit (al-mala’) dan hedonis (al-mutrafun). Benturan-benturan ini tidak selamanya dimenangkan oleh para pewaris peradaban risalah, malah bisa sebaliknya, justru mereka yang tersedot arus peradaban lama dan terwarnai oleh nilai-nilai yang telah usang.
Itulah yang terjadi pada pewaris peradaban Ibrahim yang mendiami Palestina, Bani Israil. Bangsa keturunan Ya`qub ini lebih sering gagal mengejawantahkan misi peradaban Ibrahim as meskipun perjalanan sejarah mereka nyaris selalu disertai seorang Nabi. Nilai universal ajaran Ibrahim as dikerdilkan dan dimanipulasi untuk kemudian dimonopoli menjadi ‘milik’ ras Israel atau Yahudi. Akibatnya sungguh mengerikan, ajaran para nabi diklaim sebagai bukti keunggulan ras. Mereka juga membangun mitologi bahwa bangsa yahudi sebagai bangsa pilihan Tuhan (choosen people) dan Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (promised land) untuk bangsa Yahudi.
Jauh sebelum Rasulullah saw., nabi-nabi Bani Israil telah mengecam dan berusaha meluruskan penyimpangan-penyimpangan bangsa yahudi tersebut. Musa as salah satunya. Nabi terbesar Bani Israil ini berupaya membersihkan masyarakat yahudi dari nilai-nilai pagan fir`aunistik hingga harus membawa mereka keluar dari Mesir menuju Palestina, rahim peradaban Ibrahim. Tapi ternyata tidak mudah, Musa as harus membersihkan satu generasi (40 tahun) untuk menyiapkan generasi baru yang akan mengusung peradaban risalah. Kondisi yang tak kalah berat dialami Daud dan Isa `alaihimassalam, sehingga keduanya harus mengeluarkan kecaman yang sangat keras. Al-Qur’an mencatat,
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”. (Al-Ma’idah: 78).
Rasulullah saw. adalah nabi terakhir yang berupaya meluruskan penyimpangan Bani Israil ini. Perjalanan Isra’ menautkan kembali dua jantung peradaban Ibrahim, Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsha (Mekah dan Palestina) dalam satu cetak biru peradaban risalah yang universal, sekaligus mengakhiri amanah mengusung peradaban dari Bangsa Israil dan mengalihkannya kepada Umat Islam. Berbagai perangkat dan upaya dilakukan Rasulullah saw. untuk menarik Bangsa Israil menjadi bagian dari umat baru, tapi hanya segelintir orang yang menerima. Sementara mayoritas mutlak keturunan Ya`qub itu menolak karena alasan klise, rasisme.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya’.” (Al-Ma’idah: 18). “Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja’.” (Al-Baqarah: 80).
sumber: Majalah Islam Sabili, No. 16 Pebruari 2009
Asep Sobari
Sejarah mencatat, Ibrahim as adalah orang pertama yang menyatukan Mekah dan Palestina dalam peta dakwah. Letak dua kota yang berjauhan tersebut dihubungkan oleh Ibrahim dengan amanah paling agung yang diemban manusia, yaitu membangun peradaban risalah. Peradaban yang menurut DR Majid al-Kilani, tidak hanya memartabatkan jasmani manusia untuk sekedar dapat bertahan hidup (survive), tapi juga mengangkat semua aspek kemanusiaannya agar menjadi hamba Allah yang mulia (mukarram).
Sejak awal, peradaban yang dibangun Ibrahim as bersifat universal. Pemilihan batas wilayah geografis adalah bukti pertamanya. Wilayah yang mencakup Delta Mesir, Syam dan Hijaz tersebut merupakan jembatan yang menghubungkan pusat-pusat peradaban dunia kala itu. Dan tentu saja, masyarakat yang hidup di wilayah itu sangat heterogen, multi etnik dan seterusnya. Ibrahim sendiri berasal dari Iraq. Tapi Hajar, isteri keduanya yang melahirkan Isma`il, berasal dari Mesir. Isma`il sendiri kemudian menikah dengan wanita Arab dari kabilah Jurhum.
Selama hidupnya, Ibrahim as menetap di Palestina. Barangkali letaknya di pertengahan wilayah tersebut menjadi alasan utama. Namun demikian, hubungan Palestina dan Mekah terus dibangun dengan baik. Al-Mubarakfuri menyebut dalam ar-Rahiq, setidaknya Ibrahim melakukan empat kali perjalanan ke Mekah untuk menjenguk salah satu sayap keluarganya yang ditinggalkan di sana.
Kunjungan ini bukan sekedar kunjungan emosional karena gejolak kerinduan seorang ayah kepada anak dan isterinya. Melainkan merupakan bagian dari rangkaian ujian ekstra berat yang dalam Al-Qur’an disebut al-kalimaat, yang harus dilalui Ibrahim untuk membuktikan tingkat kelayakannya mengemban amanah risalah dan menanam benih peradaban universal (al-ummah). Karenanya, tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an kemudian menyebut Ibrahim seorang diri sebagai Ummah (An-Nahl: 120).
Ditinjau dari sudut mana pun, tugas Ibrahim as ini teramat berat. Membangun peradaban baru selalu diwarnai benturan-benturan keras dengan kepentingan kelompok elit yang mapan dalam tradisi peradaban lama, sekalipun nilai-nilainya telah usang. Itulah yang dihadapi para Nabi sepanjang sejarah dakwah mereka. Al-Qur’an selalu menyebut para penentang utama mereka adalah golongan elit (al-mala’) dan hedonis (al-mutrafun). Benturan-benturan ini tidak selamanya dimenangkan oleh para pewaris peradaban risalah, malah bisa sebaliknya, justru mereka yang tersedot arus peradaban lama dan terwarnai oleh nilai-nilai yang telah usang.
Itulah yang terjadi pada pewaris peradaban Ibrahim yang mendiami Palestina, Bani Israil. Bangsa keturunan Ya`qub ini lebih sering gagal mengejawantahkan misi peradaban Ibrahim as meskipun perjalanan sejarah mereka nyaris selalu disertai seorang Nabi. Nilai universal ajaran Ibrahim as dikerdilkan dan dimanipulasi untuk kemudian dimonopoli menjadi ‘milik’ ras Israel atau Yahudi. Akibatnya sungguh mengerikan, ajaran para nabi diklaim sebagai bukti keunggulan ras. Mereka juga membangun mitologi bahwa bangsa yahudi sebagai bangsa pilihan Tuhan (choosen people) dan Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (promised land) untuk bangsa Yahudi.
Jauh sebelum Rasulullah saw., nabi-nabi Bani Israil telah mengecam dan berusaha meluruskan penyimpangan-penyimpangan bangsa yahudi tersebut. Musa as salah satunya. Nabi terbesar Bani Israil ini berupaya membersihkan masyarakat yahudi dari nilai-nilai pagan fir`aunistik hingga harus membawa mereka keluar dari Mesir menuju Palestina, rahim peradaban Ibrahim. Tapi ternyata tidak mudah, Musa as harus membersihkan satu generasi (40 tahun) untuk menyiapkan generasi baru yang akan mengusung peradaban risalah. Kondisi yang tak kalah berat dialami Daud dan Isa `alaihimassalam, sehingga keduanya harus mengeluarkan kecaman yang sangat keras. Al-Qur’an mencatat,
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan Daud dan Isa putera Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”. (Al-Ma’idah: 78).
Rasulullah saw. adalah nabi terakhir yang berupaya meluruskan penyimpangan Bani Israil ini. Perjalanan Isra’ menautkan kembali dua jantung peradaban Ibrahim, Masjidil Haram dan Masjid Al-Aqsha (Mekah dan Palestina) dalam satu cetak biru peradaban risalah yang universal, sekaligus mengakhiri amanah mengusung peradaban dari Bangsa Israil dan mengalihkannya kepada Umat Islam. Berbagai perangkat dan upaya dilakukan Rasulullah saw. untuk menarik Bangsa Israil menjadi bagian dari umat baru, tapi hanya segelintir orang yang menerima. Sementara mayoritas mutlak keturunan Ya`qub itu menolak karena alasan klise, rasisme.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya’.” (Al-Ma’idah: 18). “Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja’.” (Al-Baqarah: 80).
sumber: Majalah Islam Sabili, No. 16 Pebruari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar